Tibalah kau di Behoa
Terseok menyapu rumput
liar
Sepucuk surat di tangan
kananmu
Sampaikah pada
penerimanya?
Selamat menikmati liburan
lembah
Sungai tidak
menghanyutkan suratmu
Angin Napu tak mungkin
menghantarkannya
Sempurnalah gadis tiga lembah
di dataran
Terlantung kau mengantar
sepucuk surat di tangan kananmu
Kelak temukanlah gadis
hulu di Bada
Untaian
demi untaian jerami sebesar pelukan manusia dewasa telah menjadi atap tambi. hampir sepanjang semi Yosias
menyusun atap tambinya dengan jerami dataran
yang kualitasnya memang tiada dua, apalagi jika telah tersusun rapi dan merekat
seperti sendi-sendi tulang manusia maka sekelibat badai apapun tak akan
melenyapkan.
Tumpukan
karung berisi gabah di dalam Tambi milik
Yosias masih tersusun rapi yang selalu disinari cahaya permulaan hari yang
masuk melalui sela-sela atap jerami, karung-karung gabah berwarna biru itu
mulai rapuh meski gabah-gabahnya masih utuh di usia seminya yang kelima.
4
pilar dari kayu menopang tambi bahkan
sengaja di dalamnya dibiarkan hanya terisi gabah yang didapat Yosias setiap
musim panen padi telah tiba. Tepat di dinding sisi sebelah barat terdapat papan
kayu jati memanjang yang berisi rangkaian kata, namun tak nampak tulisannya
sebab cahaya yang masuk dari sela jerami tak cukup untuk memunculkan kata-kata
itu, kata-kata itu hanya nampak pada sekitar pukul 8 pagi hingga kata-kata itu
terlihat jelas utuh tepat pada pukul 08.45 di musim semi.
“Aku
Mengira Cukup Kau Jadi Senja Untuk Meleburku, Namun Kau Menjelma Fajar Agar Aku
Bisa Melihat .............”
Kata-kata
tak utuh pada pukul 08.43 di tambi Yosias,
tepat papan itu berada di atas delapan susun karung gabah dan di sinari cahaya
yang muncul dari kotak seukuran manusia dewasa yang memunculkan kata-kata itu perlahan.
08.45 tiba memunculkan seluruh kata di papan panjang.
Masih
di dalam tambi, tepat di dinding
utara lantai jerami semakin tebal menyerupai tanjakan bukit, warna kekuningan
lantai jerami disinari cahaya matahari yang masuk melalui sela-sela atap jerami,
tempat Yosias biasa duduk menuliskan surat-surat abadi.
Surat
abadi itu tak pernah diselesaikannya, hanya ditulis dengan kata-kata sederhana,
di tempat yang sederhana, dan sederhananya surat abadi itu hanya untuk gadis dataran
di barat gereja tua.
“
.......
Sejak itu kuning bagiku
kelabu, tambi di depan gereja tua ini saksinya, surat-surat abadi yang tak
pernah selesai kutulis dengan sederhana hanya diterima oleh pembaca pertama
yang kusebut “kasih” agar lebih sederhana. Lantas jika kukirim surat abadi ini
untukmu aku harus melawat di tiga lembah? Semoga jawabnya sederhana pula, Ya
atau Tidak?
.....
“
Seperti
musim semi yang indah, tambi masih
menerima gabah dan jerami dari dataran beserta bertambahnya surat-surat abadi
Yosias, masyarakat dataran mulai mengerti mengapa Yosias selalu mengambil gabah
dan jerami kualitas dataran untuk tambi-nya
sehingga orang-orang dataran menyebut tambi
itu tambi hampa yang hanya berisi
gabah kosong dan surat-surat abadi tak bermakna.
Sebenarnya
Yosias bisa saja mengisi tambi itu
dengan keindahan, ia bisa mengisinya dengan bunga-bunga dataran, furnitur bambu
asal dataran, dan gadis-gadis dataran yang pandai menari. Namun, ia menganggap
hal seperti itu akan mendatangkan bala bencana bagi dirinya, sebab lima musim
lahan basah yang lalu, ada seorang gadis dengan tiga ilalang berkunjung ke tambi-nya.
Gadis
itu menari di dalam tambi dengan
alunan musik dataran, lantai jerami
yang kekuningan dan cahaya masuk dari sela-sela atap jerami membuat Yosias
tertegun melihat gadis itu menari dan masih menggenggam tiga ilalang di tangan
kanannya.
“Ada
bunga dataran di lantai jeramiku”
“Ilalang
adalah bunga bagimu?”
“Diantara
jerami-jerami itu bagiku kau bunga ilalang, putikmu mekarkan mahkota putih yang
indah di hamparan lembah”
Gadis
tiga ilalang menari hingga larut malam, bersama Yosias di dalam tambi ditemani minuman fermentasi aren
dari dataran. Malam milik mereka berdua, tambi
dengan atap dan lantai jerami kini tumbuh menjadi hamparan ilalang
berbunga, terlihat gelapnya malam kontras dengan warna putih bunga ilalang.
Putik
ilalang terus berbunga sepanjang musim lahan basah, sehingga menjadi tanda tambi mulai menerima coklat-coklat
dataran, orang-orang dataran sangat bahagia ketika akan menuju gereja tua,
mereka sumringah sebab seluruh dunia akan merasakan coklat dataran dengan
taburan kacang almon. Coklat-coklat dataran yang meleleh akan dijemur dibawah
senja di setiap halaman rumah orang dataran.
Di
halaman tambi, gadis tiga ilalang
diam terpaku, ikut terdengar lonceng gereja tua yang seolah menandakan musim
lahan basah akan segera berakhir. Mahkota putih ilalang hanya mekar ketika
musim lahan basah, jika kering tiba, maka mahkota-mahkota itu gugur berikut
ilalangnya yang mengering.
Gadis
tiga ilalang memetik satu mahkota, lantas seluruh mahkota ilalang mulai
menafsirkan kepergian, sesaat sebelumnya tambi
masih dipenuhi hamparan ilalang kini tersisa lantai jerami dan ilalang
kering berserakan. Tidak ada lagi gadis menari didalam, tak ada pula minuman
fermentasi aren asal dataran yang memenuhi hari-hari Yosias sepanjang musim
lahan basah.
Langit
mulai berwarna abu pekat, pertanda akan tiba badai musiman yang gelegar
petirnya mampu terdengar di padang lembah ujung utara, ricik hujannya yang
mampu mempenuhi hulu hingga sungai kecil belakang gereja tua yang lalu mengalir
bandang membawa bongkahan materil. Sedang hembusan anginnya menggeliat
merobohkan tunggang-tunggang di sepanjang jalur dataran.
Tanda
kepergian jelas terlihat, badai besar musiman membinasakan gadis tiga ilalang,
telaga- telaga kecil di dataran mulai dipenuhi air. Ilalang kering didalam tambi coba disentuh Yosias, dioleskan
air yang dibawa dari sungai belakang gereja tua pada tiap panjang daunnya.
“Adakah
sisa durinya?”. Tanya petani dataran pada Yosias.
Tambi terisi
lantai jerami bercampur dengan ilalang kering, tak sadar sudah berjam-jam badai
musiman menerjang dataran, terlihat kawanan ternak mati kedinginan di sepanjang
jalur dataran dan tak seorangpun keluar rumah, begitupun gereja tua yang sesak
pengungsi dari segala penjuru dataran yang pondok-pondoknya telah hancur
diterjang badai musiman.
Malam
larut di halaman tambi masih tersisa
puing-puing hasil badai musiman namun di dinding utara tambi tertegun Yosias memandang keluar, terlihat pintu tambi yang masih terbuka dan lonceng
gereja tua yang masih terayun badai musiman, lonceng tua berusia setengah abad
itu mulai terlepas dari tambang yang tertambat, lonceng tua itu terjun dan
tergeletak di tanah becek gereja tua dan badai musiman masih belum berlalu.
***
Matahari
terbit di langit cerah, seluruh dataran porak poranda, hewan-hewan ternak
terlihat jasadnya tertimbun puing pondok, gereja tua tanpa lonceng serta atap
jerami tambi Yosias tersisa sebagian
yang tersusun merekat. Lima musim lahan basah berlalu, surat-surat abadi
saksinya.
Di
perjalanan mengikuti badai musiman, gadis tiga ilalang tak lagi terlihat.
Pertanyaan untuk masyarakat di tiga lembah pun tak terjawab, hanya saja semua
tau bahwa pernah ada gadis dataran dengan tiga ilalang yang pernah singgah di
lembah mereka, namun ketika badai musiman datang, gadis dataran dengan tiga
ilalang tak pernah terlihat lagi.
Sepanjang
semi perjalanan itu melintas di tiga lembah namun Yosias kembali ke dataran,
sepanjang semi itu pula dataran kini berbeda, bahkan gereja tua telah memiliki
lonceng baru dan tambi kini
beralaskan lantai cor keramik atapnya dari logam. Entah siapa yang merubah
dataran menjadi lebih sempurna?
Yosias
menggenggam surat abadi di tangan kanannya sembari memandang dataran yang makin
gemerlap, sudah tak ada lagi jerami dataran di tambi dan tak ada lagi surat-surat abadi, surat-surat itu selesai
di genggamannya, ditujukan kepada gadis hulu tentang gadis dataran yang pandai
menari dengan tiga ilalang di tangan kanannya.
“Sempurna gadis itu di
dataran, tepat di sebelah barat gereja tua depan tambi.”
Penulis: Aldhiyansyah Noerman
Komentar
Posting Komentar